PEKANBARU — Di tepi Jalan Kaharuddin Nasution, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru, berdiri kokoh sebuah lokomotif tua di atas umpak beton. Cat hitamnya mulai pudar, tapi sisa kejayaannya masih terasa. Di bawah sinar matahari yang menyengat, bayangan lokomotif itu jatuh di atas relief batu yang menceritakan kisah pilu — tentang ribuan manusia yang pernah bekerja paksa di tanah ini, dan tak pernah kembali.
Itulah Tugu Pahlawan Kerja, monumen yang menjadi saksi bisu dari tragedi pembangunan rel kereta api Pekanbaru–Muaro Sijunjung pada masa pendudukan Jepang. Rel sepanjang 233 kilometer itu dibangun antara tahun 1943 hingga 1945 dengan tenaga romusha — pekerja paksa yang sebagian besar didatangkan dari Pulau Jawa.
Tugu Pahlawan Kerja merupakan monumen bersejarah yang dibangun untuk mengenang ribuan jiwa yang gugur saat proyek rel kereta api sepanjang 233 kilometer dikerjakan oleh tentara pendudukan Jepang pada masa Perang Dunia II.
Rel itu dirancang menghubungkan Ombilin di Sumatera Barat hingga Pekanbaru di Riau — dan kini dikenal sebagai rel kereta api kematian (death railway).
Antara tahun 1943 hingga 1945, Jepang memaksa puluhan ribu orang — sebagian besar didatangkan dari Pulau Jawa — menjadi pekerja paksa atau romusha. Mereka harus menembus hutan lebat, lembah, dan perbukitan untuk membangun jalur strategis pengangkutan batu bara dari tambang Ombilin ke pelabuhan di Riau.
Namun, kerja tanpa upah, minim makanan, dan penyakit membuat ribuan nyawa melayang sia-sia di sepanjang lintasan rel itu. Jalur tersebut bahkan tak sempat digunakan, karena Jepang keburu kalah dari Sekutu sebelum proyek rampung.
“Banyak pekerja meninggal di tengah hutan karena kelelahan dan kelaparan. Setelah Jepang kalah, rel ini tak pernah dipakai dan akhirnya rusak,” tutur Romi Arafi, Juru Pelihara Tugu Pahlawan Kerja pada akhir September 2025.
Romi menceritakan, lokomotif bernomor C3322 yang kini berdiri gagah di tugu tersebut dulunya dalam kondisi memprihatinkan. “Dulu lokomotif ini terbengkalai di kawasan Tanjung Rhu, Kecamatan Limapuluh. Sudah penuh coretan dan hampir rusak,” kenangnya.
Pemerintah kemudian memindahkan lokomotif itu ke lokasi Tugu Pahlawan Kerja dan menjadikannya simbol perjuangan para pekerja yang gugur. “Setelah dicat dan dirawat, lokomotif ini dijadikan monumen agar masyarakat tahu bahwa di Pekanbaru dulu pernah ada rel kereta api peninggalan Jepang,” jelas Romi.
Tugu Pahlawan Kerja diresmikan pada 10 November 1978 oleh Gubernur Riau saat itu, H.R. Soebrantas. Dalam sambutannya, Soebrantas menegaskan bahwa para romusha yang meninggal saat membangun rel tersebut layak disebut pahlawan, meski banyak di antara mereka yang tak dikenal namanya maupun asal-usulnya.
“Ini adalah tugu penghormatan bagi para pekerja, pahlawan masa itu, yang tidak diketahui nama dan asalnya,” ujarnya kala itu.
Pada tahun 2018, Pemerintah Kota Pekanbaru menetapkan Tugu Pahlawan Kerja sebagai cagar budaya, melalui keputusan Wali Kota Firdaus. Sebelumnya, kawasan ini merupakan area pemakaman umum, yang kemudian dipindahkan ke lokasi bersebelahan setelah tugu dibangun. Kini, area tugu ramai dikunjungi warga dan wisatawan yang ingin mengetahui sejarah panjang rel kereta api kematian.
Kepala Bidang Pembinaan Seni dan Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pekanbaru, Zulnawirawan, mengatakan bahwa kondisi lokomotif di tugu tersebut kini mulai memudar akibat paparan cuaca.
“Perlu pengecatan lagi, minimal di bagian bodi lokomotif. Tahun lalu sempat diperbaiki, tapi karena hujan dan panas, warnanya mulai pudar,” ujarnya. Ia menambahkan, taman di sekitar tugu juga perlu ditata ulang agar tampilan kawasan ini semakin menarik dan nyaman dikunjungi.
Kini, Tugu Pahlawan Kerja tak sekadar menjadi penanda sejarah, tetapi juga pengingat tentang perjuangan dan penderitaan yang pernah terjadi di bumi Riau.
Di balik lokomotif tua dan relief batu itu, tersimpan pesan agar generasi muda tidak melupakan masa lalu — dan terus menghargai setiap tetes keringat para pahlawan tanpa nama yang membangun rel kematian dengan harapan hidup yang tak pernah tiba. *** (gion)