JAKARTA – Pemerintah mengambil langkah tegas dalam menjaga kelestarian kawasan konservasi dengan mencabut sertifikat lahan perkebunan sawit ilegal yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mentolerir pelanggaran penggunaan lahan di wilayah konservasi yang menjadi habitat satwa langka seperti gajah dan harimau sumatera.
“Kita cabut sertifikatnya. Kalau itu kawasan hutan, ya kita cabut,” ujar Nusron tegas saat ditemui usai rapat kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Ia menjelaskan bahwa pencabutan sertifikat tidak menunggu proses verifikasi ulang karena hasil pengecekan lapangan telah membuktikan adanya pelanggaran.
“Ndak dicek lagi. Sudah kita cek, langsung kita cabut,” tambahnya singkat namun penuh ketegasan.
Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah tidak akan membiarkan praktik-praktik penggunaan lahan secara ilegal di kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam.
KLHK: Tidak Ada Ruang untuk Aktivitas Ilegal
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah menyampaikan sikap tegasnya. Melalui Direktur Konservasi Kawasan Ditjen KSDAE KLHK, Sapto Aji Prabowo, pemerintah menegaskan tidak akan memberi ruang bagi aktivitas ilegal di kawasan TNTN yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Riau.
“Tidak ada ruang bagi aktivitas ilegal di kawasan pelestarian alam. Tindakan-tindakan tegas akan terus diambil untuk memulihkan, melindungi, dan mengelola Taman Nasional Tesso Nilo,” ujar Sapto di Jakarta, Rabu (11/6).
Tesso Nilo, Habitat Penting yang Terancam
Taman Nasional Tesso Nilo merupakan perwakilan penting dari hutan dataran rendah di Sumatera yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Sejak ditetapkan sebagai taman nasional pada 2004, kawasan ini membentang seluas 81.793 hektare dan menjadi benteng terakhir bagi satwa langka seperti Elephas maximus sumatranus (gajah sumatra) dan Panthera tigris sondaica (harimau sumatera).
Namun, kelestarian kawasan ini terus menghadapi ancaman serius. Data terbaru menunjukkan bahwa hanya sekitar 24 persen atau sekitar 19.000 hektare dari total luas TNTN yang masih berupa hutan. Sisanya telah beralih fungsi menjadi lahan terbuka, permukiman, dan kebun sawit ilegal.
Kondisi ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 jo. UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. *** (Dil)